JURNAL IT - Muhadjir Effendy, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), mengusulkan penggunaan teknologi mutakhir berbasis digital untuk meningkatkan pelayanan perjalanan haji di masa depan.
Menurut mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini, aplikasi digital "berbasis IT" menjadi salah satu kebutuhan dasar bagi jamaah, termasuk penggunaan gelang GPS (geo positioning services) untuk para jamaah.
Petugas mengenakan gelang haji |
"Saya pikir harus segera dilaksanakan secepatnya," ujar Muhadjir Effendy, yang juga mantan Rektor UMM Malang, di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Daker Madinah pada Sabtu (3/6/2023) siang.
Menteri senior yang mengawasi 7 kementerian, termasuk kesra, agama, kesehatan, pendidikan, dan tenaga kerja, memberikan tanggapan terkait pertanyaan wartawan mengenai peningkatan jumlah jamaah yang tersesat di sekitar Masjid Nabawi Madinah dan Masjidil Haram di Mekah selama 10 hari terakhir dari misi haji Indonesia di Arab Saudi.
Data dari PPIH Daker Madinah menunjukkan bahwa rata-rata terdapat 150 kasus jamaah yang tersesat selama pelaksanaan ibadah Arbain di kompleks Masjid Nabawi.
Kasus tersebut cenderung meningkat pada puncak musim haji, terutama saat awal ibadah rukun haji (thawaf-sai) di Masjidil Haram dan pada hari-hari puncak haji di Arafah, Musdalifah, dan Mina.
Muhadjir Effendy, yang juga merupakan seorang guru besar di bidang pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), mengonfirmasi bahwa inovasi dalam layanan haji berbasis IT harus mencakup identifikasi, keselamatan, dan keamanan para jamaah selama menjalankan ibadah haji.
Penerapan teknologi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan, mengidentifikasi kebutuhan dasar jamaah lansia, serta mengatasi masalah tahunan yang terkait dengan jamaah yang tersesat di Haramain.
Selama enam dekade terakhir, alat identifikasi yang digunakan oleh jamaah haji Indonesia hanyalah gelang besi mineral. Sebelum pandemi, misi haji Indonesia telah sebagian mengimplementasikan Hajj GPS berbasis smartphone, namun inovasi tersebut tidak dijadikan kebijakan resmi.
Pada tahun 2016, otoritas haji Arab Saudi mengumumkan penggunaan gelang kertas plastik dengan kode pemindai QR code berbasis smartphone yang berisi identitas jamaah, informasi akomodasi, paspor, dan dokumen perjalanan selama berada di Tanah Suci.
Penggunaan gelang ini diperkenalkan sebagai respons terhadap tragedi Terowongan Mina pada tahun 2015 yang menewaskan 2500 orang.
Pada tahun 2017, otoritas haji Saudi juga mengizinkan penggunaan gelang GPS dengan nama e-Bracelets Hajj for Pilgrims. Menurut Saudi Gazette, gelang GPS ini memiliki fungsi seperti smartwatch berbasis satelit atau jaringan seluler.
Gelang ini terbuat dari bahan karet tahan air dan dilengkapi dengan pelacak posisi berbasis GPS. Selain itu, gelang tersebut juga dapat mengukur aktivitas gerakan jamaah, menyimpan data medis standar, dan memonitor tekanan darah penggunanya.
Beberapa negara seperti Singapura dan negara-negara di Eropa telah memberikan paket jaminan keamanan dan akses fasilitas publik bagi para lansia dengan menggunakan gelang GPS khusus, yang dilengkapi dengan tombol darurat dan panic button.
Di Indonesia, gelang haji konvensional menjadi kontroversi dan sorotan nasional pada tahun 2022. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VIII DPR RI, Kementerian Agama memastikan bahwa anggaran untuk pengadaan gelang logam haji senilai Rp5,5 miliar telah dihapus.
Gelang logam telah menjadi alat identifikasi jamaah haji sejak pertama kali Indonesia menggunakan pesawat untuk perjalanan haji pada tahun 1979.
Gelang tersebut diukir dengan tulisan dalam aksara Latin dan Hijaiyyah, serta mencantumkan informasi seperti nama, nomor identitas paspor, embarkasi asal, dan nomor maktab jamaah saat berada di Armina.(*)
0 Komentar