Lulusan Baru Terancam Menganggur, Kenapa Lulusan Baru Susah Dapat Kerja?

JURNAL IT - Di tengah gelombang kelulusan musim panas ini, banyak lulusan baru justru menghadapi kenyataan pahit, sulitnya mencari pekerjaan. 

Data terbaru menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi kini justru melampaui angka pengangguran nasional — sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Michael Maluso, 22 tahun, baru saja menyelesaikan studi di bidang teknik mesin dari University of Connecticut. 

Namun, alih-alih bekerja di bidang teknik, ia kembali ke kampung halamannya untuk membantu mengelola kolam renang lokal — pekerjaan musim panas yang biasa ia jalani saat SMA.

"Aku sudah melamar hampir 200 posisi," kata Maluso. "Dulu banyak yang bilang, setelah lulus kuliah pasti langsung dapat kerja. Tapi kenyataannya sekarang, enggak ada pekerjaan."

Maluso bukan satu-satunya. Data dari Oxford Economics menunjukkan bahwa tingkat pengangguran lulusan baru saat ini melonjak hingga 6,6%, sementara rata-rata pengangguran nasional berada di angka 6% dalam 12 bulan terakhir.

Entry-Level, Posisi yang Mulai Menghilang?

Matthew Martin, ekonom dari Oxford Economics, menyebut tren ini sebagai sesuatu yang “berlawanan dari harapan.” Menurutnya, pendidikan tinggi selama ini dianggap sebagai jaminan untuk mendapat pekerjaan lebih baik.

Namun kini, banyak perusahaan — terutama di sektor teknologi — mulai menghapus pekerjaan level pemula dan menggantikannya dengan sistem kecerdasan buatan (AI / artificial intelligence).

“AI kini meresap ke hampir semua aspek kehidupan,” jelas Martin. “Pekerjaan yang dulunya menjadi batu loncatan karier kini dialihkan ke sistem otomatis.”

Nariman Farvardin, Presiden Stevens Institute of Technology, melihat gelombang AI ini bukan sebagai gangguan sesaat, melainkan transformasi jangka panjang. 

Ia memperkirakan dampaknya akan lebih besar daripada revolusi internet dan bisa berlangsung hingga 15 tahun ke depan.

“AI berpotensi besar untuk menggantikan pekerjaan yang bersifat fisik maupun kognitif yang repetitif,” kata Farvardin. “Dan ini bukan hanya soal pekerjaan pemula. 

Banyak orang yang sepanjang hidupnya mengerjakan pekerjaan berulang — dan pekerjaan itu sekarang dalam posisi rawan.”

Kunci Bertahan di Era AI, Adaptasi & Inovasi

Namun, tidak semua lulusan baru mengalami nasib serupa. Kaylee Totten, lulusan ilmu komputer dari Stevens, justru berhasil mengamankan posisi di Verizon — perusahaan tempat ia magang sejak tahun kedua kuliah.

“Yang penting dari pekerjaan entry-level adalah kesempatan membangun relasi dan membuka peluang baru,” kata Totten.

Farvardin percaya bahwa pendidikan bukan soal mengajarkan keterampilan teknis semata, tetapi tentang membekali siswa dengan cara berpikir yang bisa terus berkembang.

“Pesan saya ke mahasiswa tidak berubah,” lanjutnya. “Dapatkan pendidikan yang bertahan seumur hidup. Kami tidak hanya mengajarkan keterampilan, tapi cara belajar mandiri agar mereka terus relevan di masa depan.”

Fenomena ini bisa menjadi alarm bagi perguruan tinggi di Indonesia. Saat perusahaan global mulai mengalihkan pekerjaan awal ke AI, pasar kerja pun ikut terdampak — termasuk di Asia Tenggara. 

Pekerjaan seperti data entry, analis junior, dan staf administratif kini makin jarang dibuka secara terbuka.

Maka, lulusan tidak cukup hanya mengandalkan ijazah. Kemampuan berpikir kritis, pemahaman teknologi terbaru, dan daya adaptasi terhadap perubahan menjadi nilai tambah yang krusial.

Hingga saat ini, perusahaan-perusahaan besar di AS sudah mulai menyerap AI untuk efisiensi operasional. Jika tren ini terus meluas, bukan tidak mungkin perusahaan-perusahaan di Indonesia pun akan menyusul.

Apakah AI merebut pekerjaan lulusan baru? Bisa jadi. Tapi satu hal yang pasti — yang mampu beradaptasi dan belajar cepat akan tetap bertahan.(*)

Posting Komentar

0 Komentar