Mengapa Sulit Mengubah Pikiran Seseorang yang Terpapar Misinformasi Online?

JURNAL IT - Pernah merasa frustrasi ketika mencoba menjelaskan fakta kepada teman yang terpengaruh misinformasi dari internet?

Kamu tidak sendirian. Hal ini ternyata sangat umum, dan ada alasan mendalam di baliknya.

Menurut para ahli Neuroscientist, Manusia cenderung merespons kuat pada emosi seperti ketakutan, kemarahan, rasa malu, atau kesepian. 

Hal ini dimanfaatkan oleh algoritma di platform digital.

Algoritma ini dirancang untuk mempelajari apa yang menarik perhatian kita, dan sayangnya, emosi negatif sering menjadi magnet terbesar.

Ketika kita menggulir konten, hal ini kemudian yang memicu emosi tersebut, kita cenderung terus melakukannya, meskipun membuat kita merasa lebih buruk.

Lingkaran emosi dan narasi pribadi

Begini cara jebakan ini bekerja; semakin besar rasa takut atau rasa malu yang kita rasakan, semakin kuat dorongan untuk membangun narasi yang mendukung perasaan itu, baik secara sadar maupun tidak. 

Pada akhirnya, kita mulai membentuk keyakinan yang mendukung emosi tersebut, bahkan jika keyakinan itu tidak sepenuhnya didasarkan pada fakta.

Coba renungkan, manusia memiliki kebutuhan alami untuk menjelaskan emosi yang mereka rasakan. 

Ketika algoritma terus memicu emosi negatif, kita tanpa sadar menyusun alasan yang mendukung pandangan dunia baru, bahkan jika pandangan itu dipengaruhi informasi yang salah.

Mengubah pikiran menjadi tantangan besar

Mengubah keyakinan yang terbentuk oleh proses ini tidaklah mudah. Bahkan jika seseorang akhirnya menerima fakta, jejak emosi dari keyakinan awal tersebut seringkali masih tersisa.

Hal ini memengaruhi tindakan mereka di masa depan, seperti pilihan dalam mendukung suatu gerakan atau menentukan siapa yang layak dipilih dalam pemilu.

Jadi, meskipun logika dan fakta penting, emosi sering kali menjadi pemain utama dalam cara kita membentuk pandangan dunia dan mengambil keputusan.

Itulah sebabnya pendekatan untuk melawan misinformasi perlu lebih dari sekadar memberikan data—kita perlu memahami bagaimana emosi dan algoritma membentuk pola pikir seseorang.

Jangan hanya melawan misinformasi dengan fakta. Cobalah juga untuk menciptakan koneksi emosional yang lebih baik agar orang merasa didengar dan dihargai.

Dengan begitu, kita bisa membuka peluang lebih besar untuk dialog yang bermakna dan perubahan pandangan yang positif.(*)

Posting Komentar

0 Komentar