JURNAL IT - Isu seputar feodalisme dan eksploitasi di lingkungan pesantren telah menjadi perbincangan hangat yang menarik perhatian publik belakangan ini.
Tuduhan ini, yang sering kali menyebar cepat melalui media sosial, memaksa masyarakat untuk mendefinisikan batasan antara tradisi penghormatan, praktik pendidikan, dan potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Kontroversi ini semakin mencuat seiring dengan adanya kekacauan di negara Indonesia, termasuk perselisihan yang terjadi antara pihak Trans7 dengan santri Lirboyo.
Lalu bagaimana seharusnya menyikapi isu-isu kritis ini, terutama dalam konteks tuduhan feodalisme di lingkungan pesantren.
Konflik dan Batasan Feodalisme
Dalam sebuah diskusi di kanal YouTube Cak Nun yang dibawakan oleh Sabrang Mowo Damar Panuluh atau yang lebih dikenal juga dengan Noe sebagai vokalis band Letto dan merupakan anak pertama budayawan, Emha Ainun Nadjib atau lebih dikenal dengan Cak Nun, membahas bagaimana seharusnya menyikapi isu-isu kritis ini, terutama dalam konteks tuduhan feodalisme di lingkungan pesantren.
Maraknya isu feodalisme membuat banyak pihak yang tidak mengetahui detail merasa mudah untuk melontarkan kritik, bahkan menyebut orang-orang di pesantren sebagai feodal. Namun, penting untuk mencari tahu batasan feodalisme yang benar-benar tidak diperbolehkan.
Beberapa kriteria krusial diperlukan untuk membedakan praktik pendidikan yang bermanfaat dari eksploitasi yang merugikan, terutama terkait permintaan agar anak-anak atau santri bekerja di pesantren.
Kriteria ini diperlukan untuk memastikan praktik tradisional tetap adil dan tidak eksploitatif:
1. Manfaat bagi Santri, santri boleh bekerja jika manfaat bagi anaknya lebih besar daripada manfaat untuk kiainya. Jika anak dilatih untuk disiplin, itu adalah hal yang wajar. Namun, jika anak diminta berdagang di pasar dan keuntungannya dinikmati oleh kiai, hal itu dianggap salah.
2. Syarat Reversibilitas, kriteria ini menanyakan apakah cucu kiai juga melakukan hal yang sama dengan yang diminta kepada santri. Jika cucu kiai juga melakukan tugas tersebut, maka praktik itu dianggap adil dan bukan masalah.
3. Kepentingan Bersama dan Keselamatan, pekerjaan harus ditujukan untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan pribadi seseorang. Selain itu, keselamatan harus dijamin. Contoh yang jelas salah adalah menyuruh anak-anak kecil melakukan pengecoran (pekerjaan bangunan) karena pekerjaan itu memerlukan skill tertentu, memiliki risiko keselamatan yang tinggi, dan tanggung jawab jangka panjang.
Antara Penghormatan dan Pemanfaatan
Fenomena penghormatan yang sering disalahartikan sebagai feodalisme adalah tradisi seperti mencium tangan kiai (munduk-munduk) demi keberkahan.
Menanggapi hal ini, disampaikan Gus Sabrang tentang sebuah kisah pribadi dari Simbahnya (ayah, Cak Nun), yang menjelaskan batasan yang jelas antara menerima penghormatan dan memanfaatkan penghormatan tersebut.
Ketika ditanya mengapa beliau mau dicium tangannya, Simbah menjawab: "Saya tidak minta dicium tangannya. Saya tidak mewajibkan dicium tangan saya." Beliau melanjutkan bahwa jika orang tersebut merasa hidupnya lebih mantap dan damai dengan mencium tangannya, beliau bersedia dicium demi orangnya.
Batasan feodalisme menjadi jelas ketika kiai memanfaatkan kepercayaan itu untuk kepentingan pribadinya, misalnya, "sini suaramu tak doleng partai" (suaramu saya jual ke partai), yang merupakan bentuk eksploitasi terhadap mereka yang tadinya menghargai.
Intinya, kiainya mengabdi kepada orangnya, bukan orangnya mengabdi kepada kiai, karena semua manusia adalah abdinya Tuhan.
Menyikapi Perbedaan Pendapat dan Kritik Publik
Kekacauan yang terjadi, seperti perselisihan antara yang pro Trans7 dan yang pro santri Lirboyo di kalangan kelompok kecil seperti tongkrongan ngopi, juga menunjukkan bagaimana perbedaan pendapat bisa memecah belah.
Ditekankan bahwa berbeda pendapat adalah kesalahan jika sampai ribut.
Perbedaan seharusnya digunakan untuk saling melengkapi dan belajar, karena mungkin salah satu pihak tahu sesuatu yang pihak lain tidak tahu.
Bagi masyarakat di media sosial yang mengkritik pesantren secara gegabah karena ketidakpahaman, Gus Sabrang mengingatkan bahwa respons yang tepat dari pihak pesantren bukanlah membenci mereka, tetapi mengajari mereka yang tidak mengerti dalam urusan pesantren.
Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa jika sudah merasa pasti benar, kita bisa terjebak dalam kesombongan (ujub).
Untuk menyelesaikan perdebatan sengit tentang benar atau salah, diperlukan kriteria yang adil yang disetujui bersama, seperti mencari meteran saat ada perdebatan tentang tinggi sebuah objek bukannya sibuk membuat asumsi sendiri-sendiri.
Kriteria tersebut berfungsi sebagai titik tolok ukur ketiga yang dapat diterima oleh kedua belah pihak untuk menentukan kebenaran.
Fokus Energi pada Lingkaran Prioritas
Isu kekacauan nasional dan konflik internal pesantren adalah bagian dari lingkar perhatian yang perlu kita perhatikan, tetapi jangan sampai menghabiskan hidup atau energi kita.
Disarankan untuk memprioritaskan energi pada lingkar kendali atau hal-hal yang bisa kita lakukan langsung. Ini termasuk memperbaiki diri sendiri, rajin bekerja, merawat keluarga, dan fokus pada lingkungan terdekat seperti Karang Taruna atau kampung.
Jika manusia memperbaiki diri sendiri, negara juga akan ikut menjadi baik, karena negara adalah kumpulan manusia.
Meskipun kita harus peduli, fokus energi harus diarahkan pada hal yang lebih mulia dan bermanfaat langsung, seperti mengurus keluarga dan diri sendiri, daripada terlalu dalam memikirkan hal-hal yang jauh dan yang efeknya belum tentu terasa.(*)
0 Komentar