JURNAL IT - Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudi Sadewa baru-baru ini hadir dalam wawancara khusus bersama Ruisa Khoiriyah dari Bloomberg Technoz.
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudi Sadewa |
Menkeu Purbaya mengakui bahwa amanah barunya tidak ringan di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang "sedang meriang". Namun, ia optimis karena tugasnya "enggak berat-berat amat" lantaran akar masalahnya diketahui karena kesalahan kebijakan.
Target utamanya adalah memperbaiki kesalahan tersebut agar pertumbuhan ekonomi bisa mencapai setidaknya 6%, dan seiring berjalannya waktu, mungkin mencapai 6,5% hingga 7%.
Menkeu Purbaya mendapat sorotan atas gaya bicaranya yang ceplos-ceplos dan blak-blakan, yang oleh publik dijuluki "menteri koboy".
Purbaya menjelaskan bahwa gaya bicara ini adalah gayanya yang natural, bukan strategi yang dibuat-buat. Ia meyakini bahwa saat ekonomi tidak menentu, diperlukan panduan yang jelas (guidance).
Ia harus menjelaskan prospek masa depan secara gamblang kepada masyarakat untuk membangkitkan optimisme, dengan menunjukkan senjata apa yang dimiliki dan apa yang akan dikerjakan.
Ia menegaskan bahwa ilmu ekonomi seharusnya mudah dipahami karena ilmu tersebut mempelajari perilaku (behavior) para pelaku ekonomi. Jika ada ekonom yang berbicara sulit dimengerti, ia berkelakar, "mungkin dia enggak ngerti ekonomi".
Kebijakan Inti Injeksi Likuiditas
Salah satu gebrakan pertama Menkeu Purbaya adalah memindahkan dana dari rekening Bank Indonesia (BI) ke Himbara (Bank BUMN).
Purbaya sangat yakin langkah ini akan mendorong sektor riil. Keyakinannya didasarkan pada teori ekonomi yang pernah ia pelajari dari Milton Friedman mengenai Depresi Besar (The Great Depression) di AS tahun 1930-an.
Saat itu, meskipun suku bunga hampir nol, ekonomi hancur karena pertumbuhan base money (uang di sistem) cenderung negatif.
Purbaya telah berhasil menerapkan kebijakan serupa untuk mengatasi krisis pada 2008 - 2009 dan pada 2021. Kunci keberhasilan kebijakan moneter ini adalah menurunkan opportunity cost of money:
1. Sisi Penawaran (Supply), perusahaan lebih terdorong untuk meminjam ke bank untuk ekspansi karena biayanya lebih rendah.
2. Sisi Permintaan (Demand), konsumen tidak ragu lagi untuk berbelanja karena bunga deposito yang rendah.
Ia mencontohkan, pada tahun 2021, pertumbuhan uang (M0) masih negatif hingga April. Setelah Menkeu memindahkan uang di bulan Mei, pertumbuhan langsung melonjak menjadi 11% dan bulan berikutnya 19%. Kebijakan ini dapat menciptakan pertumbuhan demand dan supply sekaligus.
Ia memperingatkan bahwa perlambatan ekonomi yang terjadi sebelum April 2025 dan pengereman lagi Mei - Agustus disebabkan oleh kesalahan kebijakan sendiri yang memperketat uang tanpa disadari.
Pengelolaan Likuiditas dan NPL
Meskipun likuiditas di sistem perbankan secara keseluruhan dianggap cukup, Purbaya menjelaskan bahwa uang seringkali menumpuk di BI.
Pemindahan uang sekitar Rp 200 triliun (dari Rp 425 triliun yang ada di BI) ke Himbara adalah langkah strategis.
Dengan mengenakan biaya parkir dana berlebih di BI (sekitar 4%), bank terpaksa menyalurkan uang tersebut.
Kompetisi di antara Bank BUMN akan terjadi. Purbaya sudah melihat dampaknya, suku bunga antarbank sudah turun menjadi 3%.
Ia memprediksi bahwa suku bunga pinjaman juga akan turun, menstimulasi pertumbuhan secara berkesinambungan.
Ia yakin bahwa penyaluran dana ini tidak akan menurunkan standar pinjaman atau memicu Kredit Macet (NPL).
Ia percaya industri perbankan, terutama Bank BUMN yang menjadi saluran mampu menilai risiko dan kualitas kredit dengan baik.
Dampak positif pada suku bunga bank akan terlihat segera, dan perubahan arah pertumbuhan kredit diharapkan terlihat pada akhir Oktober.
Dampak ekonomi penuh dari quasi-monetary policy ini diperkirakan terlihat dalam tiga hingga empat bulan, yaitu pada akhir Desember atau Januari.
Filosofi Fiskal: Efisiensi, Bukan Belanja Sembarangan
Menkeu Purbaya mengklarifikasi filosofi fiskalnya adalah "Efficiency baby efficiency," bukan "spend baby spend".
Prinsipnya, jika anggaran sudah dirancang, ia harus dihabiskan.
Kegagalan belanja berarti inefisiensi karena pemerintah membayar bunga utang untuk uang yang tidak terpakai. Misalnya, jika sisa anggaran Rp 400 triliun, pemerintah membayar bunga tambahan sekitar Rp 28 triliun (dengan asumsi bunga 7%).
Jika anggaran tidak dapat dihabiskan, Purbaya menegaskan anggaran belanja harus dikurangi dan penerbitan Surat Utang Negara (SBN) terkait juga harus dikurangi untuk menghindari pembayaran bunga yang tidak perlu.
Ia menilai, underspending oleh pemerintah daerah (Pemda) sama dengan "mencekik sistem perekonomian".
Mengenai program-program populis yang besar biayanya, Purbaya menyebutnya sebagai salah satu dari tiga kaki "Subietronomiks," yang fokus pada pemerataan pembangunan dan stabilitas sosial.
Ia berjanji akan terus memonitor penyerapan anggaran program-program tersebut. Jika penyerapan lambat, anggaran akan dipotong dan dialihkan ke kementerian atau program lain yang lebih siap, dengan evaluasi di pertengahan tahun (Juli).
Batasan Utang dan Mimpi Defisit Nol
Purbaya mempertanyakan batas fiskal standar seperti rasio defisit terhadap PDB (3%) dan rasio utang terhadap PDB (60%). Ia menyebut angka-angka ini arbitrer dan tidak ada teori yang menetapkan batas pasti kapan sebuah negara bangkrut.
Ia menyoroti bahwa hampir semua negara Eropa, termasuk Jerman, telah melanggar batasan-batasan ini, dengan rasio utang mendekati 100%. Sementara itu, rasio utang Indonesia (sekitar 39%) masih sangat pruden.
Meskipun menganggap batas-batas tersebut tidak "sakral," Purbaya menyatakan Indonesia akan tetap memegang angka yang pruden ini untuk menjaga kepercayaan publik dan lembaga pemeringkat.
Ia juga mengkritik lembaga pemeringkat yang terkesan menerapkan standar ganda antara negara maju dan berkembang.
Terkait cita-cita Presiden Prabowo untuk mencapai APBN defisit nol (0%), Purbaya menyebutnya ambisi yang realistis, namun sulit dicapai dalam dua tahun.
Pencapaian defisit nol sangat bergantung pada peningkatan penerimaan negara, terutama melalui penertiban dan penanganan kebocoran signifikan di sektor sumber daya alam, seperti tambang dan perkebunan.
Koordinasi Moneter dan Rupiah
Koordinasi dengan Bank Indonesia (BI) dipastikan berjalan mulus, didukung hubungan pribadi yang baik dan diskusi informal yang rutin.
Purbaya menegaskan pemerintah akan menghindari Burden Sharing rutin (BI membeli SBN di pasar primer) karena praktik tersebut, yang ia sebut sebagai monetisasi kebijakan fiskal, "diharamkan di dunia moneter" dan merusak kredibilitas bank sentral.
Mengenai pelemahan Rupiah, Purbaya mengaitkan volatilitas dan keluarnya modal asing (sekitar Rp 40 triliun dari SBN pada September) sebagai dampak dari masa transisi dan kurangnya kepercayaan investor.
Ia memprediksi investor akan kembali saat ekonomi stabil dan menawarkan prospek pertumbuhan yang lebih cepat.
Purbaya membantah keras hoax yang beredar bahwa pemerintah menginstruksikan bank untuk menaikkan bunga Dolar AS hingga 4%.
Ia menjelaskan, kebijakan semacam itu justru akan menyebabkan dana pindah dari Rupiah ke Dolar jika bunga Rupiah lebih rendah.
Pemerintah sedang menghitung insentif untuk menarik dolar agar disimpan di dalam sistem domestik.
Ia mencatat bahwa meskipun Singapura menawarkan pajak nol pada bunga deposito, deposito di sana tidak dijamin, sementara deposito di Indonesia hampir 100% dijamin.
Strategi Pajak dan Investasi
Untuk mencapai target penerimaan pajak yang ambisius (target pertumbuhan 13% untuk APBN 2026), strategi Purbaya berfokus pada kepatuhan, bukan kenaikan tarif. Langkah-langkah konkrit meliputi:
1. Perbaikan Tata Kelola, membuka sistem pengaduan langsung kepada Menteri Keuangan untuk menangani korupsi dan non-kepatuhan.
2. Perbaikan Sistem Inti Perpajakan (Core Tax System), para ahli sedang bekerja memperbaiki kelemahan sistem ini.
3. Tidak Ada Kenaikan Tarif, tarif pajak tidak akan dinaikkan, begitu pula cukai.
Purbaya berargumen bahwa menaikkan pajak saat ekonomi melemah hanya akan memicu spiral ke bawah (pendapatan turun, pajak turun lagi).
Fokusnya adalah menciptakan pertumbuhan ekonomi yang cepat, yang secara otomatis akan meningkatkan pendapatan dan penerimaan pajak.
Mengenai investasi swasta, Purbaya akan memastikan likuiditas sistem cukup dan memperbaiki iklim investasi dengan memberantas hambatan, seperti birokrasi dan pungutan liar (pungli-pungli), yang menghambat "ribuan" rencana investasi dari negara-negara sekitar.
Ia menyimpulkan, pemerintah tidak perlu ikut campur dalam manajemen sektor swasta, tetapi hanya perlu menciptakan kondisi agar bisnis dapat berjalan tanpa gangguan regulasi berlebihan.
Pada akhirnya, Menkeu Purbaya menekankan bahwa menciptakan optimisme adalah tuas ekonomi yang krusial.
Optimisme menciptakan self-fulfilling prophecy yaitu ketika masyarakat percaya ekonomi akan tumbuh, mereka berbelanja dan berekspansi, mendorong pertumbuhan aktual.
Pertumbuhan cepat ini juga akan secara otomatis mengangkat kelas menengah, yang kesejahteraannya merosot sejak 2018 karena pertumbuhan ekonomi yang tidak optimal.(*)
0 Komentar