Mengapa Kita Tidak Boleh Bertengkar Atas Perbedaan Mazhab?

JURNAL IT - Dalam komunitas Muslim, sering muncul pertanyaan mengenai urgensi mengikuti salah satu dari empat mazhab utama Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hambali.

Beberapa keluarga bahkan memiliki orang tua dengan mazhab berbeda. Apakah cukup hanya beriman kepada makna syahadat percaya kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya, tanpa mengikuti mazhab tertentu?

Dalam Islam, kita harus selalu merujuk kembali kepada sumber utama ajaran Al-Quran dan Hadits.

Tidak Ada Mazhab dalam Quran dan Hadits

Jika kita membaca Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad SAW, kita tidak akan menemukan penyebutan secara spesifik tentang mazhab Syafi'i, Hanafi, Maliki, atau Hambali.

Meskipun demikian, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmed bin Hanbal (Imam Hambali) adalah ulama-ulama besar yang hebat, yang harus kita cintai dan hormati. 

Mereka datang dengan tujuan untuk menyederhanakan agama, bukan untuk memecah belah atau membuat sekte baru.

Sangat penting untuk menyadari bahwa perbedaan antara keempat mazhab ini sangat kecil, terutama dalam isu-isu utama. 

Lebih dari 95% ajaran mereka adalah sama. Semua mazhab sepakat bahwa seorang Muslim harus shalat lima waktu, membayar zakat 2,5%, dan melaksanakan puasa Ramadhan.

Perbedaan yang ada hanyalah sekitar 2% hingga 5%, umumnya dalam aspek-aspek fiqh minor atau kecil. Misalnya, perbedaan mengenai letak tangan saat shalat (di atas dada atau di bawah pusar). 

Perbedaan ini tidak menyebabkan shalat seseorang batal. Perbedaan kecil semacam ini seringkali bersifat mustahab (dianjurkan/lebih baik).

Perbedaan dalam aspek fiqh ini sebagian besar disebabkan oleh perbedaan dalam usul al-fiqh (prinsip-prinsip metodologi hukum). 

Semua mazhab sepakat bahwa urutan tertinggi dalam sumber hukum adalah Al-Quran. Setelah itu, Hadits Mutawatir (hadits yang datang melalui banyak rantai periwayatan) menempati posisi kedua.

Namun, setelah dua kriteria teratas ini, urutan dan kriteria lainnya dapat berbeda. Sebagian ulama mungkin memprioritaskan Hadits Sahih, sementara yang lain mungkin menggunakan Urf (adat istiadat/kebiasaan). 

Jika formula atau metodologi (usul) yang digunakan berbeda, maka jawaban akhir (fatwa) juga dapat berbeda sedikit, meskipun persamaannya jauh lebih besar.

Perbedaan juga bisa terjadi karena satu kelompok ulama menganggap suatu hadits sebagai Sahih (otentik), sementara kelompok lain menganggapnya sebagai Dha’if (lemah).

Otoritas Tertinggi, Kembali kepada Allah dan Rasul-Nya

Bagi seorang Muslim, tali yang harus dipegang teguh adalah tali Allah, yaitu Al-Quran yang mulia, dan dilarang untuk berpecah belah, sebagaimana disebutkan dalam Surah Ali Imran 3 ayat 103.

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖوَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ 

Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, janganlah bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara. (Ingatlah pula ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (Āli ‘Imrān [3]:103)

Seluruh empat Imam fiqh memiliki prinsip yang sama. Mereka adalah manusia biasa yang dapat membuat kesalahan, dan otoritas tertinggi adalah Al-Quran dan Hadits. 

Allah berfirman dalam Surah An-Nisa 4:59 untuk taat kepada Allah, taat kepada Rasul, dan kepada ulil amri (ulama). Namun, jika mereka berbeda pendapat, kita harus kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ  فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ 

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat). (An-Nisā'  [4]:59)

Bagi orang awam yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup, tidaklah masalah untuk berpegang teguh pada satu mazhab tertentu. 

Namun, bagi pelajar ilmu atau mereka yang memiliki kapasitas untuk ijtihad (penelitian mandiri), mereka dapat memilih setelah melakukan penelitian.

Fokus pada Isu Utama

Umat Islam disarankan untuk tidak bertengkar mengenai isu-isu minor yang bersifat mustahab atau perbedaan fiqh. 

Isu fiqh adalah isu yang lebih ringan dibandingkan isu-isu mendasar terkait akidah.

Isu-isu krusial yang harus diperhatikan adalah memastikan kita hanya menyembah Allah dan tidak menyembah siapapun selain Dia, serta memastikan kita tidak melanggar aturan-aturan utama. 

Daripada memperdebatkan di mana tangan harus diletakkan saat shalat, para ulama seharusnya lebih fokus pada aspek yang lebih luas, yaitu bagaimana membuat jutaan Muslim yang belum shalat agar mulai shalat.

Untuk menghindari konflik, disarankan pendekatan dalam diskusi, daripada menyatakan "Hanya Saya yang benar" (yang menyiratkan orang lain salah), lebih baik menggunakan kalimat "Saya juga benar". 

Pendekatan ini membuka pintu bagi diskusi akademik dan penelitian, sekaligus mencegah permusuhan di tengah masyarakat.

Intinya adalah, perbedaan fiqh adalah hal wajar karena perbedaan metodologi, namun perbedaan tersebut tidak boleh menjadi alasan untuk memecah belah persatuan umat. 

Kita semua harus menyebut diri kita sebagai Muslim, sebagaimana diserukan oleh Al-Quran di berbagai tempat (misalnya Surah Ali Imran 3:64 dan Surah Fushshilat 41:33).

قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai Ahlulkitab, marilah (kita) menuju pada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, (yakni) kita tidak menyembah selain Allah, kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim.” (Āli ‘Imrān [3]:64)(*)

Posting Komentar

0 Komentar