Mengapa Anak-Anak Bisa Menjadi Pelaku Bullying?

JURNAL IT - Insiden yang melibatkan tiga anak laki-laki berusia sembilan tahun, yang merundung teman sekelas perempuannya dan rekamannya tersebar luas di Singapura pada beberapa waktu lalu, kembali memicu diskusi serius tentang perundungan di sekolah dasar. 

Rekaman audio yang dikirim kepada ibu korban itu tidak hanya berisi makian, tetapi juga ancaman eksplisit.

Dissect her or end her life,” demikian suara seorang anak dalam rekaman tersebut. 

Ancaman itu, menurut ahli yang meneliti hubungan antara bahasa dan identitas, merupakan bentuk eskalasi dari perilaku perundungan awal. 

Penggunaan kata-kata seperti dissect atau end her life menunjukkan bagaimana anak-anak dapat meniru bahasa orang dewasa atau budaya populer tanpa memahami konteks maupun konsekuensinya.

Penindakan terhadap tiga pelaku memang sudah dilakukan sekolah. Namun penyelidikan justru mengungkap fakta yang lebih kompleks, korban sendiri sebelumnya pernah menyakiti anak lain. 

Situasi ini menunjukkan bahwa di usia 7–12 tahun, anak bisa menjadi korban sekaligus pelaku.

Survei terhadap 1.000 siswa SMP di Singapura menemukan bahwa 30% pernah dirundung, dan 60% di antaranya mengalami kejadian pertama saat masih SD. 

Angka itu memberi gambaran bahwa pola perilaku agresif sering kali terbentuk lebih dini dari yang dibayangkan.

Seorang terapis anak menjelaskan bahwa pada usia ini, emosi lebih dominan daripada logika. “Anak-anak 7 hingga 12 tahun belum sepenuhnya mengembangkan kemampuan berpikir terstruktur,” ujarnya. 

Jika tidak dibimbing, dorongan emosional dapat langsung berubah menjadi tindakan memukul, mendorong, berteriak, tanpa jeda berpikir.

Penjelasan yang sering digunakan para ahli adalah analogi mobil.

Mesinnya adalah emosi, yang pada anak sering berjalan kencang. Rem dan setirnya bagian otak yang mengatur kontrol diri, masih berkembang.

Ketika emosi besar muncul, tubuh dan ucapan anak sering bergerak lebih cepat daripada kemampuannya untuk berhenti dan mempertimbangkan dampak. Jika pola ini berulang pada target yang sama, itulah perundungan.

Seorang mantan pelaku perundungan yang kini menjadi guru dan konselor mengingat pengalamannya di kelas 2 atau 3 SD. 

Ia menargetkan seorang teman karena terus dibandingkan orang tuanya dengan anak tersebut. 

Dari menuangkan Milo hingga menyabotase lembar kerja, semua tindakan itu dilakukan demi satu hal, penerimaan sosial. Ketika teman sebaya tertawa, ia merasa mendapatkan “hadiah”.

Lalu mengapa masa sekarang kondisinya terlihat semakin parah?

Dalam 11–12 tahun praktiknya, sang terapis melihat lonjakan dua kali lipat anak-anak yang mengalami kesulitan regulasi emosi, bahkan sejak sebelum pandemi. 

Beberapa faktor pemicu mencakup:

  • Menurunnya interaksi sosial alami, terutama saat periode lockdown.
  • Waktu layar yang meningkat, dengan akses pada konten cepat, intens, dan penuh aksi.
  • Paparan video pendek yang membuat otak cepat lelah dan rentan terhadap frustrasi.

Konten yang bergerak cepat memberikan stimulasi emosional yang tinggi. Ketika anak berhenti menonton, ia masih membawa sisa emosi intens yang belum bisa diatur dengan baik.

Peran Orang Tua yang Dibutuhkan Anak

Riset neuroimaging menunjukkan bahwa ketika anak menonton adegan sarat konflik sendirian, aktivitas di korteks prefrontal meningkat, tanda bahwa mereka bekerja keras untuk mengelola perasaan. 

Namun ketika adegan yang sama ditonton bersama orang tua, aktivitas itu menurun drastis.

Artinya, kehadiran orang tua membantu menstabilkan emosi anak.

Tapi kehadiran saja tidak cukup. Studi lanjutan menemukan bahwa yang paling efektif adalah sinkronisitas, keselarasan respons antara orang tua dan anak. 

Hal ini hanya terbentuk ketika orang tua benar-benar hadir, bukan sekadar duduk sambil scrolling ponsel.

Karena itu, orang tua dianjurkan untuk:

  • Membatasi waktu layar tanpa membuatnya menjadi larangan total.
  • Menonton atau bermain bersama anak ketika memungkinkan.
  • Mengajak berdiskusi: “Apa yang kamu rasakan ketika menonton ini?

Jadi Bullying bukan semata kejahatan, tetapi kegagalan regulasi emosi.

Pada usia di bawah 12 tahun, banyak tindakan agresif muncul bukan dari niat jahat, tetapi dari ketidakmampuan menghadapi emosi besar. 

Tanpa bimbingan, perilaku itu bisa berulang dan berubah menjadi perundungan.

Dalam istilah psikologi, terdapat dua bentuk agresi:

  1. Agresi proaktif, direncanakan, misalnya sabotase.
  2. Agresi reaktif, muncul dari ledakan emosi sesaat.

Semakin tidak teratur emosi seorang anak, semakin besar risiko ia melakukan keduanya.

Jika otak anak adalah mobil dengan mesin besar dan rem yang belum matang, maka orang dewasa, orang tua, guru, dan lingkungan adalah rem darurat dan instruktur sekolah mengemudi. 

Mereka yang membantu anak menavigasi jalan emosinya, agar tidak menabrak orang lain maupun dirinya sendiri.(*)

Posting Komentar

0 Komentar