JURNAL IT - Dalam perjalanan karier, seringkali kita terjebak dalam sikap keras kepala yang sulit untuk mengalah. Kita berpegang pada keyakinan kita sendiri dan merasa benar, tanpa mempertimbangkan sudut pandang orang lain.
Namun, sebuah kisah menginspirasi menunjukkan betapa pentingnya kebijaksanaan dan keterbukaan dalam menghadapi tantangan di tempat kerja.
Dalam sebuah narasi yang menggugah, seseorang mengungkapkan kebiasaannya yang sulit untuk mengalah dan enggan mengakui kekeliruan. Dalam pekerjaannya, seringkali menolak untuk memberikan jalan atau mengalah, karena merasa bahwa dirinya lah yang benar. Namun, suatu peristiwa mengubah cara pandangnya.
Karena salah PIN sampai 3 kali, mobile banking Saya terblokir. Setelah 2 minggu tertunda karena kesibukan pekerjaan, kemarin akhirnya Saya putuskan untuk ke Bank pada jam makan siang.
Selesai memesan gado-gado untuk dibungkus, Saya memencet tombol lampu merah penyeberangan, di depan salah satu Universitas dekat kantor.
Tidak lama kemudian, lampu merah menyala dan mobil-mobil mulai berhenti, Saya lantas melangkah menyeberangi jalan.
Selisih 1 meter dari pembatas jalan, sebuah motor dengan kecepatan tinggi melaju ke arah Saya.
Saya berdiam diri menatap motor itu, bukan karena panik, bukan karena kaku ditempat, tapi karena Saya tahu lampu merah masih menyala, dan merasa bukan Saya yang harus minggir, melainkan motor itu yang harus berhenti.
Dan benar saja, motor itu berhenti tepat 1 centi dari hadapan Saya.
Saya lantas melanjutkan langkah ke pembatas jalan, menunggu sebentar, lalu melanjutkan ke seberang.
Sesampainya di seberang, Saya baru menyadari betapa bodohnya Saya, dan kaki Saya langsung gemetar.
Bagaimana kalau motor itu tidak berhenti? Apa yang akan terjadi kalau motor berkecepatan tinggi itu terus melaju menghantam tubuh Saya?
Dalam perjalanan menyusuri trotoar menuju ke Bank, nasihat dari Paman Saya, yang ia sampaikan belasan tahun yang lalu kepada Saya muncul:
"Kita tidak perlu takut mati, tapi jangan sampai mati konyol"
Kalau Saya tadi tertabrak karena gak mau menghindar, karena merasa benar, apakah itu tidak konyol namanya?
Waktu Saya menceritakan hal ini kepada teman, salah satu anggota tim Saya, dia cuma menggeleng-gelengkan kepala.
"Dalam pekerjaan, gw juga sering gitu ya? Keras kepala, gak mau minggir, gak mau ngalah, karena merasa benar"
Teman saya cuma nyengir, gak tau karena mengakui kebenaran kata-kata Saya, atau berkata dalam hatinya: "akhirnya Ibu nyadar juga" :)
Ya, dalam pekerjaan, Saya juga memang suka melakukan 'hal mematikan' yang konyol.
Karena merasa sudah kirim email announcement tentang peraturan baru, maka Saya merasa semua orang sudah baca emailnya, dan sudah tahu apa yang Saya maksud, akibatnya Saya tidak mau 'minggir' saat ada orang yang terus melaju dengan kecepatan tinggi, hendak melintasi 'aturan itu'.
Bagi Saya, harusnya orang itu sudah tahu aturan yang Saya umumkan, wong Saya sudah blast email kok.
Padahal, kenyataannya tidak semua orang sudah sempat baca email yang Saya kirimkan, dan sekalipun baca, tidak semuanya mengerti apa yang Saya maksud.
Hal ini, sama seperti pengendara motor yang hampir menabrak Saya kemarin, ada kemungkinan dia memang tidak menyadari ada tempat penyebrangan di situ, atau ada kemungkinan juga dia memang tidak menyadari bahwa lampu merah sedang dalam kondisi menyala.
Masalahnya kemudian bukan siapa yang benar, siapa yang salah, tapi lebih ke resiko apa yang Saya ambil dari tindakan 'gak mau minggir' Saya itu?
Makanya Saya kemudian menepuk jidat Saya sendiri dan berkata: "Hal mematikan yang konyol!"
Masalah blast email itu juga adalah hal yang konyol, ya mungkin memang tidak mematikan nyawa, tapi bisa mematikan hubungan antara rekan kerja, bisa mematikan keharmonisan antar departemen dan dalam tingkat akut bisa mematikan jalur karir Saya.
Paman Saya juga pernah berujar: " Kadang-kadang untuk mendapatkan sesuatu kita memang harus bayar harga, tapi ngapain kita kejar kalau harganya terlalu mahal " :D
"Ada hal-hal yang layak untuk di brantemin, tapi ada hal-hal yang layak untuk di biarin..." nasihat dari salah satu Sahabat Saya. Kata-kata itu juga ikutan melintas waktu Saya merenungkan akan hal ini.
Kembali lagi ada 2 faktor yang muncul disini, apa yang Saya pertahankan/Saya kejar, dan risiko apa yang Saya ambil?
Jika risiko terlalu besar, dan atau hasil yang Saya dapat terlalu kecil, mengapa harus tetap kekeuh bertahan, gak mau ngalah, gak mau minggir?
Bersyukur dan bertobat dari perasaan benar sendiri. Mungkin itu adalah kalimat yang tepat yang dapat menggambarkan perasaan Saya saat ini.
Terimakasih Sang Khalik, terimakasih untuk perlindungan-Mu, terimakasih untuk pelajaran yang penting, terimakasih untuk kesempatan yang masih Kau beri, sehingga Saya masih bisa hidup dan menuliskan hal ini.(*)
0 Komentar