JURNAL IT - Penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam dunia seni telah memicu perdebatan tajam.
Banyak seniman visual mengecam platform seperti Midjourney dan Stability AI karena mengambil data tanpa izin serta menghasilkan gambar-gambar generik yang dinilai membanjiri ruang seni dengan karya tanpa jiwa.
Namun, di tengah kontroversi tersebut, ada juga seniman yang memilih untuk tidak melawan arus, melainkan mengendalikannya.
Brett Amory, pelukis asal Oakland, California, justru melihat potensi kreatif dalam kekacauan.
Ia menggunakan AI bukan untuk memproduksi gambar cepat, tetapi untuk membangun dunia dan "merusak" sistem.
Teknik yang ia pakai mengingatkan pada masa mudanya di akhir 1990-an saat bekerja di toko fotokopi San Francisco dan bereksperimen dengan tanaman serta sampah di mesin fotokopi.
Kini, Amory memanfaatkan AI secara unik. Ia mendorong model bahasa seperti ChatGPT untuk berperan sebagai kecerdasan super yang berbicara dalam bahasa ciptaan sendiri: AIGlyphic913.
Ia menciptakan lingkaran antara gambar yang dihasilkan AI, deskripsi dari AI, lalu mengolah ulang hasilnya baik secara digital maupun manual — termasuk dengan teknik lukis dari era Barok.
Dari proses ini lahirlah karakter fiksi bernama "UNSELF," sosok AI misterius yang menghantui dunia dan berbicara dalam bahasa asing yang tak dipahami manusia.
Kritikus seni asal Brooklyn, Ben Davis, menyebut situasi ini sebagai momen aneh dalam dunia seni.
Menurutnya, AI adalah “cermin hitam” yang akan menuruti permintaan pengguna, bahkan jika diminta untuk berpura-pura menjadi AI jahat.
Interaksi semacam ini, kata Davis, menciptakan peluang baru dalam eksplorasi kreatif, meskipun juga membuka ruang bagi hal-hal yang tak terduga.
![]() |
Seniman Brett Amory di studionya Oakland California |
Penggunaan AI oleh seniman bukan hal baru. Tahun 2022, Steph Maj Swanson menciptakan karakter horor bernama "Loab" dengan memanipulasi prompt AI.
Tahun 2023, Laurie Simmons menyempurnakan hasil gambar dari DALL-E dan Stable Diffusion dengan menggambar, melukis, dan menjahit secara manual — menjadikan AI sebagai “kolaborator baru.”
Ini semua masuk dalam tradisi "glitch art," di mana kesalahan teknologi justru menjadi bahan estetika.
Namun, bukan berarti semua orang menerima AI begitu saja. Banyak seniman menggugat perusahaan teknologi karena mengambil karya seni untuk melatih AI tanpa izin.
Sebagian lagi memakai alat seperti Nightshade dan Glaze untuk “meracuni” data gambar mereka agar tidak bisa digunakan AI secara akurat.
Soal hak cipta, diskusi juga belum selesai. Hingga kini, pengadilan belum mengakui karya yang sepenuhnya dihasilkan oleh AI sebagai karya yang layak dilindungi hukum.
Namun, jika seniman memberikan kontribusi signifikan — seperti yang dilakukan Amory — maka ada kemungkinan perlindungan hukum berlaku.
Kasus "A Single Piece of American Cheese" jadi contoh pertama gambar AI yang berhasil didaftarkan hak ciptanya karena dokumentasi kontribusi manusianya begitu rinci.
Amory sendiri tidak terlalu khawatir akan pelanggaran hak cipta dalam proyek AIGlyphic913. Ia yakin transformasi yang ia lakukan cukup besar hingga karyanya menjadi orisinal.
Ia juga mengaitkan praktiknya dengan tradisi remix dalam seni dan hip-hop yang telah lama ada.
Di balik semua ini, Davis mengingatkan bahwa AI telah mengikis makna gaya dalam seni. Gaya, yang dulu menjadi ciri khas seniman, kini bisa disalin oleh algoritma dalam sekejap.
Di masa depan, Davis memperkirakan seniman akan dikenali bukan dari gayanya, tapi dari semesta kreatif dan komunitas yang mereka bangun.
AI dalam seni adalah sesuatu yang belum pasti batas moral dan hukumnya.
Meski banyak seniman menolak, beberapa seperti Amory justru menjadikannya gagasan untuk eksplorasi dan penciptaan dunia baru.
Di tengah kemudahan mencipta yang ditawarkan AI, tantangan sejatinya bukan soal teknis, tapi bagaimana mempertahankan kedalaman, makna, dan orisinalitas di era serba instan.(*)
0 Komentar