JURNAL IT - Indonesia, negeri dengan kekayaan budaya yang melimpah, ternyata masih terjerat dalam belenggu ketertinggalan literasi.
Darurat literasi, krisis yang mengerikan tersebut telah menghantui bangsa ini sejak lama.
Sebuah laporan dari Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada tahun 2019 menunjukkan bahwa negara ini berada di peringkat yang memilukan, tepatnya urutan 62 dari 70 negara yang disurvei.
Ini bukanlah hanya masalah pendidikan, tetapi juga masalah kemanusiaan yang membutuhkan perhatian serius dari semua pihak.
Namun, literasi bukanlah hanya tentang kemampuan membaca semata. Ada kompleksitas yang lebih dalam yang harus dipahami. Setidaknya ada empat tahapan penting dalam literasi yang perlu diperhatikan oleh setiap individu.
Tahap pertama, yang menjadi fondasi dari literasi itu sendiri, adalah kemampuan untuk mengakses sumber informasi. Tidak hanya soal ketersediaan buku-buku atau e-book di masyarakat, tetapi juga seberapa mudah dan cepat kita bisa mengaksesnya.
Ketidakmerataan akses bisa menjadi batu sandungan besar dalam upaya meningkatkan literasi.
Setelah akses terpenuhi, langkah selanjutnya adalah memahami apa yang kita baca. Kemampuan untuk memahami bacaan bukanlah hal yang mudah, dan tentu saja, sangat bervariasi dari individu ke individu, dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk pendidikan.
Tidak berhenti pada pemahaman, tahap berikutnya adalah kemampuan menulis. Setelah memahami, individu yang mampu mengekspresikan gagasan mereka dalam bentuk tulisan akan menjadi pilar penting dalam menggerakkan roda literasi.
Dari tulisan-tulisan inilah lahir beragam karya yang tidak hanya menginspirasi, tetapi juga memberdayakan masyarakat.
Namun, tantangan sebenarnya bukanlah seberapa banyak yang kita tulis, melainkan bagaimana tulisan-tulisan itu mampu membawa perubahan dalam kesejahteraan masyarakat.
Inilah puncak dari literasi, di mana pengetahuan yang diperoleh dari membaca tidak hanya meningkatkan keterampilan individu tetapi juga mampu mengangkat taraf hidup masyarakat secara keseluruhan.
Dengan memperkuat literasi, kita bisa membuka pintu menuju peningkatan kesejahteraan. Buku-buku dan tulisan-tulisan bukan sekadar hiburan atau penyaluran bakat semata, tetapi juga menjadi instrumen penting dalam mengubah realitas sosial dan ekonomi bangsa.
Membaca bukan lagi hanya sebuah kegiatan, melainkan sebuah gerakan untuk mengubah nasib.
Oleh karena itu, literasi bukanlah sekadar isu pendidikan, tetapi juga isu kemanusiaan dan pembangunan.
Membangun literasi bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau institusi pendidikan, tetapi tanggung jawab bersama bagi setiap individu dalam masyarakat.
Hanya dengan memahami, menulis, dan menggerakkan perubahan bersama, kita bisa mengatasi tantangan literasi yang selama ini menghambat kemajuan bangsa.(*)
0 Komentar